Rabu, 21 September 2011

Harakiri Sebagai Bagian Dari Kepribadian Orang Jepang

Abstrak : Kehebatan Jepang bangkit dari kehancuran pasca bom atom Nagasaki dan Hiroshima oleh tentara amerika pada perang dunia ke-2 dalam waktu singkat telah memukau dunia. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai tradisi yang mereka warisi yang juga mencengangkan dunia, yaitu lewat keberanian, kesetiaan, harga diri, mereka bersedia melakukan tindakan bunuh diri.

Ketika mendengar istilah bunuh diri, hal pertama yang akan terlintas dalam benak kita adalah seorang samurai1 atau kamikaze2. Samurai yang sangat terkenal dengan keahlian perangnya dan keberanian yang tinggi, mampu melakukan tindakan bunuh diri sebagai sebuah wujud kesetiaan kepada tuannya atau terhadap negara untuk menjaga harga diri. Misalnya saja, Oda Nobunaga (1534-1582). Samurai yang sangat kejam dan pemberani ini telah dikenal dunia atas usahanya untuk menaklukkan seluruh Jepang. Disamping itu, ia juga telah menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah seorang samurai yang punya harga diri dan terhormat, dengan melakukan harakiri di saat-saat terjepit dalam serangan pengikutnya yang berkhianat, Akechi Mitsuhide. Ia lebih memilih mati daripada tertangkap dan menjadi tawanan musuh.

Semangat yang tinggi dan berkobar-kobar untuk mempertahankan harga diri dan negerinya setimpal atas kemurahan hati untuknya tetap mengabdi. Semangat ini adalah semangat bushido, yakni kode etik seorang samurai (prajurit) yang digunakan ketika kalah berperang, untuk menghindari jatuh ke tangan musuh, dan menghindari rasa malu karena kalah, serta sebagai wujud kesetiaan kepada daimyo. Daimyo ini merupakan sebutan tuan tanah di Jepang. Bunuh diri adalah tindakan perwujudan nilai-nilai tersebut.

1. Sejarah Harakiri

Dari perspektif sejarah, perkembangan tradisi harakiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh beberapa kepercayaan masyarakat Jepang seperti Neo-Konfusius, Konfusius, Tao, Zen dan Shinto. Tindakan bunuh diri dibuat dalam sebuah ritual yang sering disebut harakiri atau secara harfiah berarti membelah perut.

Harakiri ( 腹切 り) (Hara = perut, Kiru = menusuk). Jadi, harakiri berarti tindakan menghukum diri sendiri dengan cara memotong perut. Walaupun demikian, orang Jepang sendiri jarang yang menggunakan kata Harakiri. Mereka lebih senang menggunakan kata Seppuku (切腹) yang memiliki arti yang sama dengan Harakiri.

Tindakan harakiri dianggap terhormat karena untuk melakukan ini, harus memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Hal ini sangat menyiksa, ditambah lagi tidak boleh menunjukkan ekspresi ketakutan ataupun kesakitan karena hal tersebut merupakan hal yang memalukan bagi seorang samurai yang terhormat dan pemberani. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak ingin mempermalukan diri dengan menunjukkan ekspresi tersebut, maka ditugaskanlah seorang kaishaku yang bertugas untuk memenggal kepala si pelaku untuk mempercepat kematian tanpa harus berlama-lama tersiksa. Ritual inilah yang dikenal masyarakat dengan sebutan harakiri.

2. Perkembangan Harakiri

Pada awal masa pemerintahan Tokugawa, harakiri sering digunakan sebagai hukuman bagi para samurai yang telah melakukan kejahatan (sedangkan untuk orang biasa, mereka dipukuli sampai mati, atau dipenggal kepalanya). Peningkatan kematian disebabkan harakiri menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan hingga pada akhirnya harakiri pun dilarang. Semenjak saat itu, para samurai kemudian berganti pekerjaan berdasarkan keahlian lain yang mereka miliki, ada yang menjadi pedagang, ataupun pegawai pemerintahan. Bisa dikatakan regenerasi samurai mulai terhambat dan harakiri dalam sistem hukuman juga berkurang.

Akan tetapi, walaupun mereka tidak lagi bekerja sebagai samurai namun budaya harakiri telah melekat kuat pada pada diri mereka sehingga harakiri tetap dilakukan dan jumlah kematian pun semakin meningkat. Semangat ini juga telah dianut pada sebagian masyarakat Jepang yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan memilih cara bunuh diri sebagai bentuk penebusan atas kegagalan dan penyesalan yang mereka. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya tingkat bunuh diri yang terjadi di Jepang, seperti dilakukan oleh Far Easteren Economi Review (1983), Japan Times, dan Ministry of Health and Welfare (2006), menyebutkan tak kurang dari 3.000 kasus bunuh diri terjadi di Jepang. Walaupun dengan cara yang berbeda, tetapi tetap saja penghilangan nyawa masih dianggap sebagai jalan akhir yang dapat ditempuh.

Melihat keprihatinan ini pemerintah melakukan penelitian untuk mengetahui penyebab bunuh diri agar dapat dilakukan tindak pencegahannya. Namun sampai sekarang belum terdengar hasilnya. Masih banyak yang melakukan bunuh diri oleh kalangan non Samurai yang membuat masyarakat Jepang resah. Aksi bunuh diri ini kerap melanda warga biasa. Mulai dari seniman, pelajar, hingga pejabat yang merasa malu karena terlibat skandal. Terlebih lagi "tradisi" ini makin berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan pisau ke perut seperti yang dilakukan oleh kaum samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan. Beberapa publikasi menyebut, pemerintah Jepang mengeluarkan anggaran yang sangat besar guna menghentikan ”tradisi” bunuh diri di Jepang.

Di saat pemerintah sibuk mengatasi tingkat bunuh diri, para seniman Jepang tetap melestarikan harakiri dalam sebuah pertunjukkan panggung sandiwara, sebagai salah satu budaya Jepang. Akan tetapi, bukan bertujuan untuk memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan harakiri, tapi untuk mempertunjukkan kepada masyarakat umum sebagai sebuah hiburan. Salah satu pertunjukan teater musikal yang sangat terkenal adalah Kabuki. Kabuki yang diperuntukan bukan untuk kelas bangsawan ataupun samurai, tapi untuk masyarakat biasa ini, lebih membahas tentang tema-tema terlarang yang digambarkan dengan sangat detail. Kabuki yang sudah ada sejak tahun 1600-an inilah harakiri dimainkan dengan sangat detail. Selain di panggung teater klasik, kisah harakiri dan samurai yang sangat erat hubungannya ini, telah banyak pula dibawa ke layar kaca. Seperti film “Harakiri” yang dibuat oleh Kobayashi Masaki pada tahun 1962 atau “Throne of Blod” oleh Akira Kurosawa tahun 1957 atau kisah “The Last Samurai”. serta dalam bentuk buku, seperti Sang Samurai, Kisah 47 Ronin, dan Kehebatan Samurai Jepang.

3. Motif Harakiri

a. HARGA DIRI, dengan motif ini, para samurai melakukan bunuh diri demi menjaga harga dirinya. Tindakan kamikaze di saat PD II pun digolongkan dalam motif ini. Jepang tidak ingin sejengkal pun tanah mereka di injak oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Hingga dengan cara apapun, pergerakan musuh mereka harus ditahan. Kisah pertempuran di Iwojima menunjukkan heroisme tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir. Ken Watanabe yang berperan sebagai seorang samurai melakukan adegan harakiri demi menjaga harga dirinya ketimbang bertekuk lutut pada tentara. Sehingga tidaklah aneh apabila para korban harakiri tersebut mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat, termasuk dari orang yang pada masa hidup tidak menyukainya.

b. MALU, Motif ini paling dominan dilakukan oleh pelaku harakiri di masa kini. Motif "tidak bisa menahan malu" dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pejabat, akademisi, hingga rakyat biasa. Tahun 2007 kita masih ingat "kejutan" di jajaran Kabinet Shinzo Abe (PM Jepang pengganti Koizumi) dengan tewasnya Menteri Pertanian akibat kasus bunuh diri. Diyakini, tindakan tersebut dilakukan karena Sang Menteri tidak bisa menahan malu akibat skandal kasus korupsi yang diduga membelitnya. Di tahun yang 2006, seorang professor tewas bunuh diri di dalam laboratoriumnya (Universitas Osaka) yang diduga melakukan pemalsuan data risetnya dalam sebuah jurnal ilmiah terkemuka dibidang bioscience. Kelompok pelaku bunuh diri ini didorong oleh ketidakmampuan mereka menahan malu akibat kasus-kasus yang menimpanya.

c. BALAS DENDAM. Pada kasus ini, biasanya dilakukan oleh seseorang yang kecewa pada keluarganya. Misalnya seorang anak yang merasa tidak diperlakukan adil, dan lain sebagainya. Tindakan bunuh diri dilakukan dengan menabrakan diri pada kereta api. Dengan tindakan seperti ini, umumnya keluarga si pelaku akan kerepotan karena dikenai tuntutan mengganggu ketertiban umum. Keluarga pelaku akan dituntut membayar ganti rugi oleh perusahaan kereta akibat keterlambatan yang disebabkan oleh peristiwa tabrakan tersebut. Bukan hanya itu, keluarga pelaku juga harus menanggung kerugian dan meminta maaf pada semua penumpang yang merasa dirugikan dengan kejadian ini. Repotnya keluarga inilah yang dimaksudkan dengan upaya “balas dendam” si pelaku.

d. KEADAAN EKONOMI YANG TIDAK BAIK (alasan terbanyak karena kehilangan pekerjaan/ bukan karena kemiskinan). Pria setengah baya sekalipun akan setia bekerja terus puluhan tahun di perusahaan yang sama. Kehilangan pekerjaan membuat kehilangan harga diri dan diliputi rasa malu terhadap tanggung jawab pada keluarganya. Diantara motif bunuh diri ini karena ingin agar keluarganya mendapat warisan asuransi jiwa. Bunuh diri juga tidak didasarkan karena alasan malu saja, tapi sebagai artikulasi protes pada perusahaan atau bentuk permintaan maaf atas ketidakmampuan keluarganya. Jadi berbanding terbalik dengan logika umum, filosofi bunuh diri di Jepang malah bisa dianggap sebagai tindakan moral dan bentuk pertanggungjawaban.

4. Ritual (tata upacara) Harakiri

Menurut pandangan diluar bangsa Jepang, harakiri dianggap tindakan bunuh diri. Akan tetapi, bagi orang Jepang sendiri pada masa sebelum pemerintahan Meiji kematian dengan cara harakiri adalah tindakan mulia dan terhormat. Harakiri dilakukan untuk menjaga kehormatan dan penebusan dosa.

Harakiri bukanlah sekedar bunuh diri secara begitu saja, melainkan melalui upacara ritual yang jelas dan telah ditentukan sebelumnya. Upacara Harakiri ini telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Sebelumnya orang melakukan harakiri harus mendapatkan seorang pendamping sebagai asisten yang berfungsi sebagai algojo. Sang algojo ini mendapatkan tugas untuk memancung kepala dari orang yang melakukan harakiri. Seorang yang akan melakukan harakiri, dilarang mengeluh, menggerang, mengaduh ataupun memperlihatkan wajah nyeri ataupun takut pada saat ia mau mati. Ia harus mati dengan tabah dan gagah. Untuk menghindari terjadinya hal ini, maka setelah sang pelaku harakiri menusukkan pisau ke perutnya, maka sang algojo harus segera memancung kepalanya dengan samurai. Dengan demikian ia bisa mempercepat proses kematian dan tidak perlu menderita. Asisten pembunuh ini lebih lazim dengan sebutan Kaishaku-Nin. Ilmu memancung kepala dengan cepat dan baik ini bisa dipelajari dan disebut Seiza Nanahome Kaishaku.

Para pelaku harakiri selalu mengenakan baju putih yang melambangkan kebersihan dan kesucian. Mereka menusuk perutnya dengan menggunakan pisau kecil berukuran 30 s/d 60 cm yang disebut Wakizashi atau Tanto yang kemudian dibungkus dengan kertas putih. Pisau tersebut ditusukan keperut; 6 cm dibawah pusar yang disebut Tanden. Berdasarkan ajaran Zen disitulah letak pusatnya Chi atau letaknya jiwa manusia. Mereka bukan hanya sekedar menusuk begitu saja; melainkan harus dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah agar perutnya bisa benar-benar robek dan ususnya keluar. Prosedur merobek perut ini disebut Jumonji-giri. Mereka melakukan Harakiri disaksikan oleh beberapa orang, bahkan oleh anggota keluarganya
sendiri dan juga oleh bikshu Shinto.

Tata cara memotong perut memiliki aturan yang disesuaikan dengan seberapa besar seseorang yang akan ber-harakiri melakukan kesalahannya. Bila seorang samurai merasa kesalahannya biasa, namun menganggap hanya dapat ditebus dengan jalan harakiri, maka ia akan melakukan harakiri dengan cara memotong perut dari kiri ke kanan. Bila seorang samurai merasa kesalahannya begitu besar, maka ia akan melakukannya dengan cara memotong perut dari kiri ke kanan, kembali ke tengah, lalu ke atas membelah ulu hati. Bila ia masih merasa bersalah dan sulit untuk menebus kesalahannya dengan apa pun, maka kesalahan hanya dapat ditebus dengan cara melakukan harakiri dengan cara terakhir, yaitu dipenggal kepalanya oleh seorang Kaishaku-Nin . Sebelum mereka harakiri mereka menulis puisi kematian atau death poem (jisei no ku).

Ada sebuah perkataan dari seorang samurai, Hagakure, pada kurun ke- 18, yang terkandung dalam hukum ihwal kematian. Petikan berikut ini merupakan isi buku Hagakure : “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara, kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi, sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah jalan samurai (bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan hidup walaupun jasadnya sudah mati. Dia telah mendapat kebebasan dalam jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihayatinya.”.

Harakiri tidak dilakukan oleh kaum pria saja melainkan juga para samurai wanita meskipun jarang yang bertarung di medan perang namun para wanita ini terlatih dalam menggunakan kaiten (belati Jepang) & naginata, yang akan mereka gunakan untuk bunuh diri atau menyerang musuh dengan menjadikan diri mereka sebagai anak panah hidup (living spear). Akan tetapi, ritual harakiri bagi kaum wanita dilakukan dengan cara yang berbeda dan harus meminta izin terlebih dahulu. Harakiri tersebut dikenal dengan istilah Jigai. Dalam ritual ini, mereka tidak menusukkan pisau ke perut melainkan dengan memotong tenggorokannya atau dengan menusuk jantung menggunakan pisau/jepit rambut yang panjang dan tajam.

5. Contoh Kejadian Harakiri

a. Kisah seorang samurai yang bernama Saigo Takamori, yang hidup pada zaman edo akhir mendekati era Meiji (1827-1877). Saigo Takamori adalah pemimpin pemberontakan terhadap pemerintahan. Dalam perperangan yang dikenal dengan pemberontakan setsuma, Saigo yang kalah dalam pergolakan akhirnya menghabisi hidupnya dengan cara harakiri.

b. Pada tahun 1945 saat Perang Dunia ke-II, Harakiri berkembang menjadi sebuah adegan yang lebih dahsyat. Para pilot jepang menabrakan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang semakin dekat ke Jepang. Gerakan ini dikenal dengan nama "Kamikaze" (angin yang besar). Tindakan yang dilakukan Kamikaze pun tiada lain adalah harakiri yang diwujudkan dalam bentuk super "heroik".

c. Peristiwa yang terjadi di Tokyo pada 25 November 1970 . Pada hari itu seorang pengarang ternama bernama Yukio Mishima melakukan harakiri disebuah markas militer di Tokyo . Penulis novel Kinkakuji itu melakukan harakiri dibantu oleh beberapa anak buahnya. Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer, hari itu menyerbu markas militer. Dia kemudian berpidato mengenai Jepang yang kehilangan keagungan klasik. Lalu di hadapan perwira tinggi yang ia sandera di markas tersebut, Mishima melakukan harakiri. Tak lama berselang, seorang pengikutnya yang setia, memenggal leher Mishima, sampai putus setelah empat kali pancung.

d. Yorozu (587), dikenal sebagai pemberani yang mengakhiri hidupnya demi membela kaisar.

e. Minatomo no Tametomo (1139-1170), mengakhiri hidupnya dengan membelah perut & telah membuatnya menjadi terkenal & dihormati sebagai seorang samurai pemberani.

f. Minamoto Yorimasa (1106-1180), seorang samurai sekaligus penyair.

g. Oda Nobunaga (1577), seorang samurai yang terkenal karena ambisinya untuk menaklukan semua wilayah Jepang.

h. Nogi Maresuke (1849-1912), seorang jendral sekaligus tokoh penting dalam perang Jepang-Rusia.

6. Simpulan

Bagi orang Jepang pada masa sebelum pemerintahan Meiji, kematian dengan cara harakiri adalah tindakan mulia dan terhormat. Harakiri dilakukan untuk menjaga kehormatan dan penebusan dosa. Harakiri lahir dalam masyarakat samurai ( golongan pendekar pada masa feodalisme Jepang ). Hara ()artinya ’perut’ dan kiri () artinya ’memotong’. Jadi, harakiri berarti tindakan menghukum diri sendiri dengan cara memotong perut.

Seorang ksatria Samurai yang akan ”bunuh diri”, melakukan beberapa persiapan. Diantaranya: mandi, mengenakan pakaian terbaik dan biasanya warna putih, memakan makanan yang paling disukai, dan meletakkan alat-alat pembunuh di atas sebuah nampan. Setelah itu, lalu menulis puisi kematian (death poem) yang seindah mungkin. Terakhir, ia harus menyiapkan pisau yang akan digunakan memotong perutnya sendiri, yaitu sebuah pisau pendek yang tajam (bernama Tanto). Tata cara memotong perut memiliki aturan yang disesuaikan dengan seberapa besar seseorang yang akan ber-harakiri melakukan kesalahannya. Bila seorang samurai merasa kesalahannya biasa, namun menganggap hanya dapat ditebus dengan jalan harakiri, maka ia akan melakukan harakiri dengan cara memotong perut dari kiri ke kanan. Bila seorang samurai merasa kesalahannya begitu besar, maka ia akan melakukannya dengan cara memotong perut dari kiri ke kanan, kembali ke tengah, lalu ke atas membelah ulu hati. Bila ia masih merasa bersalah dan sulit untuk menebus kesalahannya dengan apa pun, maka kesalahan hanya dapat ditebus dengan cara melakukan harakiri dengan cara terakhir, yaitu dipenggal kepalanya oleh seorang Kaishaku-Nin. Mereka melakukan harakiri disaksikan oleh beberapa orang, bahkan oleh anggota keluarganya sendiri dan juga oleh bikshu Shinto.

Harakiri bukan dilakukan oleh pria saja tetapi juga oleh kaum perempuan. Mereka menusukkan jarum rambut atau pisau ke ulu hatinya. Harakiri perempuan ini disebut jigai. Harakiri sebagai bentuk hukuman telah resmi dihapuskan setelah restorasi Meiji pada tahun 1873, tetapi harakiri secara sukarela belum sepenuhnya hilang. Pada tahun 1985 beberapa orang anggota militer melakukan bunuh diri sebagai bentuk protes menolak dikembalikannya wilayah China setelah meninggalnya kaisar Meiji dan lebih banyak lagi tentara serta rakyat yang lebih memilih mati daripada menyerah di akhir PD (Perang Dunia) II.

Daftar Pustaka

Ranjabar, Agata P. 2008. HARAKIRI Kepahlawanan Samurai Jepang. Yogyakarta : Pinus Book Publisher
_________________2009. Legenda 47 Ronin. Pinus Book Publisher

Muhammad, Najamuddin. 2009. Nyanyian Jiwa Sang Samurai. Jogjakarta; Bukubiru

http://kyushu.com/gleaner/editorspick/seppuku.shtml (sabtu, 29 Januari 2011)

http://id.wikipedia.org/wiki/Seppuku (sabtu, 29 Januari 2011)

1 komentar:

  1. Woyaaa... akhirnya bisa baca harakiri di blog sensei ney. ^-^v

    Sampai sekarang masih takjub dengan harakiri or Seppuku.
    Termasuk bagian dari prinsip or jalan hidup sich harakiri ini.

    Ayo nge-post lagi sensei. Terakhir desember tahun lalu ney. Bahas ttg budaya Jepang yg lain donk sensei. Jepang punya byk ke'unik'an yg layak utk dibahas. hehehehehe

    BalasHapus