Rabu, 21 September 2011

Penelitian tentang samurai

Tujuh Keutamaan Bushido Yang Menjiwai Masyarakat Jepang Masa Kini

Abstrak : Bushido adalah kode etik samurai yang tumbuh dan berkembang sejak lahirnya kelas bushi (kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya) di Jepang. Bushido mencirikan petunjuk dan aturan bagaimana seorang samurai menjalani dan memahami hakikat hidupnya. Ajaran moral bushido salah satunya bersumber dari keutamaan atau toku yang dimodifikasi dari keutamaan konfusianisme. Nitobe Inazo dalam bukunya, “Bushido The Soul of Japan” (2008), menyampaikan tujuh keutamaan yang wajib dimiliki oleh seorang samurai, yaitu :

1. Gi(儀, yakni keutamaan yang menyangkut kemampuan untuk mengambil keputusan.

2. Yuu(勇), yakni keutamaan yang menyangkut keberanian.

3. Jin(仁), yakni keutamaan yang menyangkut kebajikan.

4. Rei(礼), yakni keutamaan yang menyangkut kesantunan.

5. Makoto(誠), yakni keutamaan yang menyangkut kejujuran dan ketulusan.

6. Meiyo(名誉), yakni keutamaan yang menyangkut kehormatan

7. Chuugi(忠義), yakni keutamaan yang menyangkut kesetiaan.

SEJARAH BUSHIDO

Bushido (武士道)sebagai kode etik yang mengatur kehidupan samurai telah berkembang sejak ratusan tahun silam. Meskipun tidak ada informasi yang jelas mengenai kapan lahirnya kode etik ini, namun kemungkinan besar bushido berkembang luas pada Zaman Kamakura (1192-1333) yang menandai lahirnya sistem pemerintahan bakufu yang dijalankan oleh kelas prajurit. Aturan yang terkandung dalam bushido bukan merupakan aturan baku yang tertulis, tetapi berwujud petuah yang disebarkan dari mulut ke mulut dari tulisan seorang cendikiawan atau prajurit ternama (Nitobe, 2008: 4)

Kode etik bushido lahir dari kombinasi berbagai ajaran agama dan falsafah hidup yang dianut oleh bangsa Jepang, khususnya agama Budha, Shinto, dan Konfusianisme. Kesiapan dan kerelaan untuk mengorbankan nyawanya kapan dan dimana pun adalah ajaran bushido yang berkaitan dengan konsep reinkarnasi dalam ajaran agama Budha. Sikap kesetiaan dan patriotisme yang terdapat dalam ajaran bushido, secara garis besar, berasal dari ajaran agama Shinto. Doktrin Shintoisme mengemukakan bahwa figur kaisar Jepang (tenno) sebagai keturunan langsung dari Dewi Ameterasu, dewi tertinggi dalam ajaran agama Shinto. Oleh karena itulah, seorang samurai dituntut untuk selalu setia dan rela berkorban demi kaisar, bangsa, dan tanah airnya. Selanjutnya, ajaran bushido yang mengatur hubungan antara samurai dengan lingkungannya diadopsi dari ajaran konfusianisme. Dalam ajaran konfusius, terdapat lima keutamaan yang mengatur kehidupan manusia. Lima keutamaan konfusianisme ini dikenal dengan istilah gojou no toku (五常の徳). Keutamaan-keutamaan ini terdiri dari: gi (keadilan), jin (kebajikan), rei (kesantunan), chi (kebijaksanaan), dan shin (kejujuran). Bersumber dari konsep inilah, kemudian lahir keutamaan-keutamaan bushido.

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN BUSHIDO

1. Gi(儀), yakni keutamaan yang menyangkut kemampuan untuk mengambil keputusan.

Konsep gi berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang samurai untuk memecahkan masalah. Nitobe (2008: 19-20) menjelaskan bahwa gi adalah kemampuan untuk membuat keputusan tanpa ragu dengan didasarkan oleh alasan-alasan yang kuat, benar, dan rasional; untuk mati apabila memang harus mati dan untuk menebas apabila memang harus menebas. Gi adalah keutamaan yang berfungsi sebagai “alat” bagi samurai dalam menentukan mana tindakan yang boleh dilakukan, dan mana tindakan yang tidak boleh dilakukan. Bagi seorang samurai, kebenaran yang ia yakini merupakan hal yang mutlak. Ia tidak perlu lagi meragukan kebenaran yang bersumber dari dasar hatinya.

Konsep Gi juga mengatur agar samurai tidak berhenti belajar untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya. Karena seorang samurai dituntut untuk dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara tepat dan rasional, tentunya dibutuhkan suatu tingkat intelegensi, kejelian, dan kemampuan berpikir. Hanya seorang samurai yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas yang mampu memecahkan suatu masalah dengan cepat dan mengambil keputusan secara tepat dalam keadaan seperti apa pun. Nilai ini jugalah yang terdapat dalam tradisi kehidupan masyarakat di Jepang. Mereka memiliki sikap yang sigap dan tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Ketika mendengar sesuatu, mereka langsung siaga dan mengambil sikap. Meski terkadang salah, namun itu bukan masalah besar namun yang terpenting sikap yang telah diambil tersebut sigap dan penuh dengan tanggung jawab. Bagi orang Jepang, kesalahan yang terjadi setelah mengambil keputusan adalah hikmah untuk dirinya agar berintrospeksi secara lebih mendalam. Mereka tidak ingin mengambinghitamkan orang lain apabila terjadi suatu kegagalan, namun lebih pada introspeksi secara internal. Apabila terdapat kesalahan, mereka menjadikannya sebagai momentum untuk menguatkan dirinya. Situasi kegagalan, bagi mereka, adalah situasi paling dekat untuk mencapai kesuksesan.

2. Yuu(勇), yakni keutamaan yang menyangkut keberanian.

Mengingat kematian merupakan hal yang esensial dalam ajaran bushido, yuu adalah keutamaan yang menjadi modal utama yang dimiliki oleh seorang samurai ketika menghadapi kematian. Akan tetapi, seorang samurai yang berani bukanlah samurai yang tidak mengenal takut, termasuk rasa takut pada kematian. Keberanian yang sejati adalah keberanian yang mengenal rasa takut, dan mengatasi rasa takutnya tersebut.

Keberanian, kekuatan jiwa, ketidaktakutan, dan kegagahan adalah kualitas jiwa yang ada dalam pikiran setiap samurai, dan dapat diasah dengan latihan. Bagi samurai hal ini merupakan ajaran utama yang ditanamkan sejak usia dini.

Konsep yuu bagi samurai ditunjukkan dengan ketenangan dan pengendalian diri. Mereka dilarang untuk menunjukkan emosi ketika berhadapan dengan rasa takut dan rasa sakit. Seorang samurai tidak boleh menunjukkan tanda-tanda ketakutan sampai ia mati dan harus bisa menanggung rasa sakit tanpa mengeluh (Benedict, 1982: 156). Misalnya, seorang samurai yang melakukan seppuku (bunuh diri yang didasarkan oleh ritual, yaitu dengan cara menusukkan sebilah pedang ke perut) dilarang untuk menunjukkan ekspresi takut atau kesakitan ketika ia merobek perutnya.

Salah satu sifat keberanian samurai tercermin dari jiwa Kusunoki Masashige, salah satu samurai dari distrik Ishikawa, yang mengabdikan dirinya pada Kaisar Go-Daigo dalam menumbangkan Kamakura pada tahun 1331, dan bertindak sebagai pejabat di pemerintahan Kaisar Go-Daigo. Ketika Istana Shimoakasaka direbut pasukan keshogunan, Masashige melarikan diri ke Istana Chinaya di Gunung Kongo. Di Chinaya, ia terus melakukan perlawanan walaupun berada dalam keadaan terkepung dari istana. Pasukan Masashige bertempur dengan gigih melawan kepungan pasukan keshogunan yang berjumlah lebih besar. Akhirnya, pasukan keshogunan berhasil dikalahkan dengan taktik yang sekarang ini disebut gerilya. Dari cerita tersebut dapat dilihat betapa rasa berani Masashige dalam menumpas musuh-musuhnya walaupun dengan perlawanan yang tidak seimbang dari segi jumlah.

Konsep yuu dalam ajaran bushido inilah, yang juga melatarbelakangi bangsa Jepang dapat menjadi maju. Nilai-nilai keberanian yang tercermin dalam kelompok samurai tersebut, kemudian diimplementasikan dalam industrialisasi sehingga tercapai sebuah modernisasi. Setelah keterpurukan akibat dibom oleh tentara Amerika pada Perang Dunia ke-II, bangsa Jepang bangkit salah satunya dari segi ekonomi. Mereka berani mempublikasikan produk-produk hasil anak bangsanya, terlepas baik atau buruknya dari segi kualitas. Semua produk diberi label Jepang. Orang Jepang beranggapan kalau produk itu jelek agar nantinya mendapat masukan dari masyarakat dan kalau bagus, agar perusahaan dapat memperbaharui secara lebih kreatif dan inovatif.

Keberanian ini juga tercermin dari sikap orang Jepang dalam
mempertahankan kelompoknya (pengaruh "sistem ie"). Orang Jepang
bahkan sampai berani dan rela mati demi membela kelompoknya tersebut. Kelompok, bagi orang Jepang adalah tuan yang harus dibela. Ketika kelompok namanya jelek, maka orang Jepang juga ikut terpukul dan terpanggil untuk memperbaikinya. Dan, sebaliknya, kelompok yang bagus juga akan memengaruhi harkat dan martabat orang Jepang. Sehingga orang Jepang berani mengorbankan apa saja demi kepentingan kelompok. Mulai dari materi hingga non materi, semuanya akan menjadi taruhan. Nyawa pun, bagi orang jepang, akan dikorbankan demi sebuah loyalitas terhadap kelompok. Sifat ini akan meminimalisir bentuk penghianatan dan pengingkaran terhadap sebuah kelompok.

3. Jin(仁), yakni keutamaan yang menyangkut kebajikan.

Istilah Jin berkaitan dengan istilah bushi no nasake (武士の情け), yaitu sikap lemah lembut yang dimiliki seorang samurai. Semua samurai dituntut untuk memiliki rasa cinta, kepedulian, dan belas kasihan terhadap sesamanya. Seorang samurai yang berdarah dingin dan tak mengenal rasa simpati bukanlah samurai sejati. Kebajikan pada yang lemah, tertindas, atau tak berdaya diterapkan secara khusus oleh setiap samurai. Dengan kata lain, Jin juga berarti “kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain”.

Sebuah film yang cukup inspiratif mengenai ajaran ini berjudul Seven Samurai, yang diproduksi tahun 1954. Film ini secara ringkas menggambarkan ihwal kepahlawanan dan kerelaan kaum samurai dalam membela kaum petani. Film ini berlatar sejarah Zaman Sengoku Jepang. Film ini menceritakan tentang kehidupan para petani di desa yang menyewa tujuh samurai untuk memerangi para bandit yang selalu merampas tanamannya secara paksa. Para samurai rela mempertahankan desa dengan hampir tidak ada balasan sama sekali. Singkat cerita setelah terjadi pertempuran yang sengit antara ketujuh samurai dengan para bandit, akhirnya kemenangan dimiliki oleh para kaum samurai walaupun menyisakan tiga samurai saja yang berhasil selamat yaitu, Kambei, Katsushiro, dan Shichiroji. Hal itu menunjukkan hubungan harmonis antara kelas petani dengan kaum samurai. Cerita tersebut menggambarkan bentuk kebajikan para samurai untuk berkorban membela kaum petani yang tertindas. Samurai tidak hanya melayani para majikan bangsawan dan shogun, tapi juga menjadi pahlawan bagi kaum tertindas. Ini jelas tugas yang berangkat dari panggilan hati nurani. Meski nyawa pun hilang, tapi demi sebuah tugas kemanusiaan, maka samurai rela mengorbankan dirinya demi tujuan itu. Itulah prinsip samurai, bersedia menjadi pahlawan kepada siapa saja yang pantas untuk dibela.

Ajaran-ajaran inilah yang juga mentradisi di kalangan masyarakat Jepang hingga saat ini. Sampai sekarang Jepang masih memelihara, melestarikan, dan membudayakan spirit toleransi yang tinggi antar masyarakat terutama pembelaan terhadap kelas-kelas sosial yang termaginalkan. Sehingga tingkat sumber daya manusia di Jepang cukup melonjak tinggi dan taraf kemiskinan masyarakatnya mengalami banyak penurunan. Ajaran ini juga diimplikasikan pada perusahaan Jepang. Perusahaan jepang sangat apresiatif dan mempunyai tingkat perhatian yang cukup tinggi terhadap para karyawannya. Karyawan di sana mendapat tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi. Kalau ada pekerjaan atau proyek-proyek besar, perusahaan tidak hanya mengerjakannya sendiri. Tapi, semua karyawan dilibatkan dan hasilnya dibagi bersama. Dengan meningkatkan pelayanan terhadap karyawan dan mengutamakan kepentingan rakyat, maka perusahaan itu akan terus mengalami kemajuan. Antara karyawan, masyarakat, dan perusahaan berjalan seimbang tanpa ada yang harus ditindas dan orang yang menindas. (Muhammad, 2009: 169)

4. Rei(礼), yakni keutamaan yang menyangkut kesantunan.

Konsep rei berkaitan dengan etiket, tata karma, dan kesopanan. Bahkan ketika seorang samurai tengah menghadapi pertarungan antara hidup dan mati atau berada di medan perang, ia harus selalu bersikap sopan pada semua orang, tak terkecuali musuhnya.

Pada zaman feodal di Jepang, moralitas tertinggi memenuhi kewajiban pribadi dan menyesuaikan diri pada etiket yang tepat yang mengontrol setiap aspek perilaku. Moralitas ini terwujud secara konstan lewat perkataan seseorang dan apakah orang tersebut mengikuti etiket terprogram dalam berinteraksi dengan orang lain atau tidak (De Mente, 2004 : 41)

Kesantunan yang terdiri dari kehalusan budi dan lemah lembut juga terdapat dalam ajaran bushido. Samurai yang selama ini masih banyak dipahami sebagai gerombolan pembunuh tak punya belas kasihan adalah asumsi yang sangat salah. Sikap santun para samurai bisa dilihat dari aktivitas para samurai melayani tuannya. Dalam setiap perkataan dan usulan, samurai selalu melalui dengan kesopanan dan lemah lembut. Samurai ketika menghadap kaisar dan pada saat kembalinya pun harus berjongkok adalah salah satu bentuk kesantunan bushido yang telah menjadi tata cara samurai.

Sifat lemah lembut ini juga terdapat dalam kepribadian orang-orang Jepang masa kini. Secara sekilas, orang Jepang seakan sangat individualis ketika bertemu di jalan. Mereka sibuk dengan baca buku, baik di kereta maupun di bus. Tapi, itu bukan berarti mereka tidak mempunyai sifat ramah dan lemah lembut. Mereka melakukan itu karena tidak ingin waktunya habis dengan sia-sia. Mereka malu kalau tidak menghargai waktu. Misalnya dalam konteks keluarga yang bekerja, orang jepang akan merasa malu apabila pulang lebih awal. Orang Jepang akan merasa malu pada tetangganya kalau waktu senggangnya hanya dihabiskan dengan minum kopi dan ngobrol hal-hal yang tidak penting. Maka, banyak orang Jepang lebih memilih kerja lembur di perusahaan meski kadang-kadang tidak ada gaji tambahan bagi mereka. Santun terhadap waktu telah menjiwai masyarakat Jepang dari kalangan anak-anak sampai orang tua masa kini.

5. Makoto(誠), yakni keutamaan yang menyangkut kejujuran dan ketulusan.

Kejujuran dalam tutur kata dan ketulusan dalam perbuatan adalah hal yang esensial dalam konsep makoto. Status sosial kaum bushi yang tinggi menuntut mereka untuk memiliki kejujuran dengan taraf yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang atau petani. Seorang samurai dituntut untuk selalu mengatakan hal yang benar. Sekali samurai mengucapkan sesuatu, ia tidak boleh menarik kata-katanya itu.

Bushi no ichigon-ucapan seorang samurai….adalah jaminan dalam suatu pernyataan yang tegas. Ucapannya merupakan suatu kejujuran, sehingga janjinya harus ditepati dan dipenuhi walapun tanpa adanya pernyataan tertulis. Janji seorang samurai posisinya sangat dekat dengan harga dirinya. Sehingga banyak anekdot yang menyebutkan bahwa para samurai yang ‘berlidah ganda’-nigon-harus menebus kesalahan tersebut dengan nyawanya (Nitobe, 2008 : 54)

Selain menyangkut kejujuran, konsep makoto juga mengatur sikap tulus dalam melaksanakan suatu perbuatan. “Ketulusan” berarti sikap yang menjunjung tinggi kemurnian dalam bathin dan motivasi. Ketulusan yang bulat tidak mengenal cara berpikir dan berbuat yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap itu, yang dipentingkan bukan sasaran, melainkan cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran itu. Hal yang menjadi titik pusat perhatian bukanlah hasil petbuatan, melainkan perbuatannya itu sendiri, apakah dilakukan dengan penuh kejujuran dan kesunguh-sungguhan. (Marbun, 1983 : 3-4)

Menjalani hukuman mati sudah menjadi tradisi bagi kaum samurai untuk menunjukkan rasa tulusnya ke pada tuannya. Hukuman mati bagi samurai adalah bentuk jalan menuju kemuliaan. Hal ini misalnya ketika seorang samurai gagal menjalankan tugasnya, maka demi menjaga karisma diri dan lembaganya, samurai akan lebih memilih mati. Mereka beranggapan bahwa mati lebih terhormat ketimbang hidup menanggung malu. Ada sebuah perkataan dari seorang samurai, Hagakure, pada kurun ke- 18, yang terkandung dalam hukum ihwal kematian. Petikan berikut ini merupakan isi buku Hagakure : “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara, kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi, sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah jalan samurai (bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan hidup walaupun jasadnya sudah mati. Dia telah mendapat kebebasan dalam jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihayatinya.”

Sifat kejujuran dan ketulusan ini pulalah yang telah memengaruhi budaya masyarakat Jepang dalam banyak aspek kehidupannya. Misalnya dari aspek politik dan ekonomi. Orang Jepang cukup jarang melakukan tindakan korupsi karena mereka mempunyai niat yang tulus untuk mengabdi kepada bangsanya. Dan, perusahaan Jepang pun mempunyai totalitas pelayanan yang lebih mengutamakan kepentingan karyawan dan masyarakat umum karena mereka beranggapan bahwa perusahaan adalah bagian dari kehidupan mereka.

Apabila terdapat kasus ketidakjujuran, penyalahgunaan wewenang, atau penghianatan terhadap kewajiban, orang Jepang lebih memilih untuk bunuh diri. Inilah keunikan Jepang. Masyarakatnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan ketulusan. Bagi mereka, kalau tidak jujur dan tulus, rasa malu yang akan ditanggungnya. Sebuah budaya yang cukup mendukung terhadap kemajuan bangsa Jepang.

6. Meiyo(名誉), yakni keutamaan yang menyangkut kehormatan

Kehidupan samurai selamanya tak dapat lepas dari usaha menjaga dan mempertahankan kehormatan diri. Kehormatan seorang samurai berkaitan dengan kebanggaan terhadap tugas dan hak-hak istimewa mereka sebagai kelas prajurit. Hak-hak istimewa ini, misalnya, dicerminkan oleh pedang yang disandang dipinggang setiap samurai. Pada zaman Edo, hanya kaum samurai-lah yang berhak menyandang pedang, dan dengan pedang tersebut, seorang samurai diperbolehkan menebas setiap orang yang dianggap telah melecehkan atau mencemarkan kehormatan dan nama baiknya.

Konsep meiyo tidak hanya menyangkut kehormatan yang dimiliki oleh seorang individu samurai, melainkan juga menyangkut kehormatan majikan, keluarga, perguruan, atau komunitas tempat ia berada. Hal inilah yang mendorong seorang samurai melakukan balas dendam kepada orang yang telah mencemari nama baik majikan atau perguruannya. Seperti pada kisah seorang samurai pada novel yang berjudul “The Way of The Warrior”, sebuah novel sejarah jepang yang berlatar belakang pertempuran Mikata Ga Hara pada tahun 1572. Novel ini berkisah tentang seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang bernama Shimomura Jimmu, putra dari keluarga Shimomura Lord Kensu yang kehilangan segalanya ketika ayahnya melakukan seppuku akibat dipermalukan oleh Choju Ankan. Hal itu dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya. Untuk membalas atas perlakuan Choju dan demi mengembalikan nama baik keluarganya, jimmu memutuskan untuk menjadi samurai. Jimmu berlatih keras dengan ayah angkatnya, yang sebelumnya merupakan pengawal ayahnya. Jimmu menjalani tujuh tahun lebih dalam gemblengan Nichiren. Hingga pada usia ke-17 tahun, ia ditinggal mati oleh Nichiren dan sejak itu ia berusaha sendiri untuk bisa membalas dendamnya serta mengembalikan nama baik keluarganya.

Dalam ajaran samurai, menjaga nama baik adalah kewajiban. Nama baik dirinya sebagai samurai dipertaruhkan di medan perang. Hal ini membuat samurai bertarung habis-habisan. Demi sebuah nama baik, samurai rela melakukan apa saja hingga nyawa pun menjadi taruhannya. Betapa setianya samurai terhadap nama baik, sehingga kalau dirinya kalah dalam pertempuran, maka ia akan memilih mati bunuh diri daripada ditangkap oleh musuh.

Karakter ini pula yang mendasari perilaku masyarakat jepang masa kini. Dengan menjaga nama baik, maka tingkat korupsi dan perilaku-perilaku yang bisa mengancam nama baik keluarga tidak akan pernah dilakukan. Dan, kalau ada orang yang melakukan tindakan tidak terpuji, contohnya korupsi, maka ia akan melakukan bunuh diri. Dengan menjaga nama baik, tingkat kecurangan, baik dari skala kecil sampai besar akan bisa dikurangi.

7. Chuugi(忠義), yakni keutamaan yang menyangkut kesetiaan.

Seperti halnya konsep meiyo, konsep chuugi juga berkaitan dengan tugas dan profesi kaum samurai. Selain kesetiaan terhadap majikan, chuugi juga menyangkut kesetiaan terhadap shogun, kaisar, dan negara. Pengabdian seorang samurai menuntut kesetiaan dan loyalitas yang total terhadap satu tuan, bahkan jika seorang atasan memerintahkan untuk mati, ia harus menyanggupinya. Latar belakang dari sikap pengabdian yang dalam terhadap atasan ini banyak berasal dari rasa terima kasih yang besar pada majikan.

Pada tahun 1603, ada seorang samurai, Matsuyama Kaze, yang mempunyai komitmen tinggi terhadap jalan bushido, terutama dalam hal kesetiaan pada tugas. Pasca perang Sekigahara, sekitar 50 samurai ronin memutuskan menanggalkan pedang dan berpindah kelas sosial. Tetapi, Kaze tidak setuju terhadap keputusan itu. Baginya, menjadi samurai merupakan sebuah esensi keyakinan yang tidak pernah pudar. Jalan samurai baginya adalah jalan pengabdian hingga ajalnya menjemput. Apalagi, Kaze hendak memenuhi janji pada tuannya. Meski tuannya sudah meninggal, tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk mengingkari sesuatu yang sebelumnya telah diperintahkan dan menjadi tugas dirinya. Kala itu, tuan putrinya berpesan kepada Kaze untuk tetap berusaha menemukan anak perempuannya yang masih sembilan tahun, yang diculik Okubo. Kaze mencari tanpa henti hingga 3 tahun lamanya. Kaze berkelana ke seluruh penjuru Jepang, tapi belum juga menemukannya. Walaupun begitu, Kaze tetap mencarinya tanpa henti. Itulah cerita yang terdapat dalam novel Dendam di Istana Giok karya Dale Furutani. Walaupun ini hanya novel, tapi tak terlepas dari konteks sejarah dalam menarasikan sebuah cerita.

Nilai-nilai kesetiaan ini juga sangat tampak dalam karakter masyarakat Jepang masa kini. Jepang dengan kemajuannya, tidak bisa dihindarkan dari lingkungan sosial masyarakat yang menikmati pekerjaan secara setia dan menjalani tugas dengan penuh cinta. Terbukti dengan adanya sifat loyal dalam jiwa karyawan Jepang. Dengan sifat tersebut, bangsa jepang sanggup bekerja lembur meskipun tidak ada gaji tambahan. Itu semua bentuk dan wujud kesetiaan yang tinggi terhadap perusahaan. Kepentingan pribadi dan keluarga bisa dikorbankan demi sebuah loyalitas dan kesetiaan terhadap perusahaan.

Pandangan orang jepang terhadap pekerjaan tak hanya sebatas mencari nafkah. Tetapi, bagi orang jepang, pekerjaan tak jauh beda dengan bentuk loyalitas dan kesetiaan terhadap keluarga. Dalam bekerja, orang jepang melibatkan jiwa dan pikiran. Sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal untuk perusahaan dan karyawan disana.

Salah satu bentuk kesetiaan masyarakat jepang terhadap bangsa dan negaranya adalah dengan bangga memakai produk lokal. Mereka merasa itu adalah hasil kerja keras dari orang-orang Jepang, sehingga apa pun kualitasnya itulah keberadaan dan kemampuan dirinya. Produk-produk lokal Jepang tidak hanya menjadi bahan komersil, tetapi juga sebagai identitas negara tersebut. Ada simbol emosional dari beberapa produk lokal yang ada di Jepang. Oleh sebab itu, orang Jepang merasa bangga dan seakan menjadi bentuk patriotisme ketika mereka memakai produk-produk lokal.

SIMPULAN

Tujuh elemen bushido yang menjadi dasar para samurai dalam menjalankan tugasnya dapat diaplikasikan secara langsung dalam menjalin hubungan antar sesama maupun menjadi kepribadian bangsa Jepang masa kini. Bushido dikenal sebagai tata cara kesatria, sebuah kode etik kepahlawanan golongan samurai dalam feodalisme Jepang. Makna bushido adalah sikap rela mati demi negara dan kaisar hingga para samurai mau mempertaruhkan nyawa demi semua itu. Jika ia gagal, ia akan melakukan seppuku ( bunuh diri ). Sampai saat ini kita masih sering mendengar pejabat tinggi Jepang yang bunuh diri atau mengundurkan diri ketika tugas yang dibebankan kepadanya dirasa gagal. Spirit of Bushido itulah yang telah menjadi karakter bangsa Jepang. Itulah kenapa bangsa Jepang yang hancur akibat kekalahan di Perang Dunia II mampu bangkit dan menjadi raksasa ekonomi dunia. Tujuh Elemen Bushido tersebut antara lain :

1. Gi(儀, yakni kemampuan mengambil keputusan

2. Yuu(勇), yakni keberanian.

3. Jin(仁), yakni kebajikan.

4. Rei(礼), yakni kesantunan.

5. Makoto(誠), yakni kejujuran dan ketulusan.

6. Meiyo(名誉), yakni kehormatan

7. Chuugi(忠義), yakni kesetiaan.

Ketujuh elemen tersebut lah yang membentuk karakter bangsa Jepang masa kini. Bahwa, masyarakat Jepang memiliki sikap yang sigap dan cermat dalam mengambil sebuah keputusan, berani dan rela demi membela kelompoknya, melakukan kebajikan serta memiliki tingkat kesantunan dalam bertingkah laku sehari-hari, serta selalu menjaga kehormatan atau harga diri dan yang paling penting selalu setia terhadap bangsa dan negara sebagai salah satu sikap patriotisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar