Sabtu, 24 September 2011

丁寧さの原則

PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERKOMUNIKASI

(丁寧さの原則)

Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesantunan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur (Ismari, 1995: 35). Interaksi masyarakat tutur selalu dilandasi oleh norma-norma yang berlaku pada lingkungan masyarakat tersebut. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.

Masih merujuk pada teori tindak tutur (発話行為) yang memiliki beberapa fungsi salah satunya yaitu fungsi imperatif, contohnya :

1. ドア 閉める ように  (命令する)

Doa wo shimeru youni

Pintu Partikel Pemarkah Objek menutup menjadi

Tutup jendelanya (kalimat suruh)

2. ドア 閉めるよ うに (お願いする)

Doa wo shimeru youni

Pintu Partikel Pemarkah Objek menutup menjadi

Tolong tutup jendelanya (kalimat permohonan)

3. ドア 閉まっている (どうかお尋ねる)

Doa ga shimatte iru ka

Pintu Partikel Pemarkah Subjek tutup sedang shuujoshi

Apakah jendalanya sedang tertutup ? (kalimat tanya)

Dari contoh ketiga kalimat tersebut, memiliki suatu persamaan yaitu sama-sama merupakan kalimat perintah dari seorang petutur kepada mitra tutur. Kalimat perintah, pada dasarnya selalu memiliki makna memaksa, menyuruh, mengajak, atau meminta orang lain melakukan sesuatu. Dengan demikian, kata kerja pada kalimat perintah selalu menjadi kata yang terpenting dan biasanya menduduki posisi awal kalimat.

Menurut Alisjahbana, sosok kalimat perintah itu dapat dibedakan menjadi empat macam. Keempat macam kalimat perintah itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) perintah yang menunjukkan suatu kewajiban, (2) perintah yang bermakna mengejek, (3) perintah yang bermaksud memanggil, dan (4) perintah yang merupakan permintaan.

Disamping menunjukkan berbagai macam makna dan wujud imperatif seperti yang sudah disebutkan diatas, sosok linguis ternama ini juga memberikan contoh kalimat perintah yang di dalam pembentukannya memanfaatkan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan seperti: mudah-mudahan, moga-moga, coba, tolong, mari, baiklah, hendaklah, kiranya, dan silakan. Kata-kata bantu itu berfungsi untuk membuat lunak atau membuat hormat sebuah tuturan imperatif.

Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh serta kejelasan pragmatiknya. Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang sebuah tuturan akan semakin langsunglah tuturan tersebut. Jika dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu, sebaliknya semakin tidak tembus pandang maksud tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu.

Pada intinya ketika melakukan suatu komunikasi hendaknya memegang teguh prinsip-prinsip kesantunan seperti yang diungkapkan oleh Leech (1983) yang diterjemahkan oleh Tarigan (1990), sebagai berikut.

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila didalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.

2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta penuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Gotong royong dan kerja sama dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati dalam hidup bermasyarakat. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi yang tidak pernah bekerja sama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman didalam pergaulan sehari-hari.

3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Didalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang dapat dikatakan santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta penuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan.

4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Didalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong atau congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji atau mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang.

5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

Maksim permufakatan sering juga disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini ditekankan agar peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

6. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)

Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Kesimpatisan seseorang dapat ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya.

Untuk mengukur tingkat kesantunan seseorang, dapat dilakukan dengan tiga macam skala pengukur. Sampai saat ini yang banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan menurut Brown dan Levinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff.

1. Skala Kesantunan Menurut Leech

a. Cost Benefit Scale atau skala kerugian dan keuntungan. Hal ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung maka akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu dan demikian sebaliknya.

d. Authority scale atau skala keotoritasan, menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dengan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak status sosial antara penutur dengan mitra tutur maka semakin santunlah tuturan yang akan digunakan dan berlaku sebaliknya.

e. Social distance scale atau skala jarak sosial, menunjuk kepada tingkat keakraban hubungan penutur dengan mitra tutur dalam sebuah pertuturan sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

2. Skala Kesantunan Menurut Brown dan Levinson

a. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur yang dapat ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

b. Skala peringkat status sosial antara penutur dengan mitra tutur atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan. Contohnya, di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien.

c. Skala peringkat tindak tutur atau kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, ketika seorang pria bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu. Akan wajar dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun atau bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat itu.

3. Skala Kesantunan Menurut Robin Lakoff

a. Skala formalitas, dinyatakan bahwa agar peserta tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya.

b. Skala ketidaktegasan atau bisa disebut skala pilihan. Agar penutur dan mitra tutur merasa nyaman, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.

c. Skala kesekawanan atau kesamaan. Agar dapat bersifat santun, seseorang harus bersifat ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan demikian rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1978. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat

Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Luthfiyatin, Ida. 2009. Skripsi-Kesantunan Berbahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Rahardi, Kunjana. 2005. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar- dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar